Tulisan Alumnus Dayah: Adab di Atas Ilmu

Oleh Teuku Zulkhairi Rasanya batin kita sungguh tersayat ketika kita kembali mendengar terjadinya keributan di salah satu  Mesjid di...

Oleh Teuku Zulkhairi

Rasanya batin kita sungguh tersayat ketika kita kembali mendengar terjadinya keributan di salah satu  Mesjid di Banda Aceh beberapa waktu lalu lalu, sebagaimana rekamannya yang tersebar begitu cepat di media sosial. Dan semakin tersayat karena keributan terjadi di dalam mesjid, rumah Allah. Apalagi saat pelaksanaan shalat Jum’at, momentum yang begitu sakral bagi umat Islam. Kasus ini seperti siklus hitam panjang yang kembali terulang di Serambi Mekkah. Entah ini skenario siapa. Namun yang pasti, ini bukan skenario Islam. Sebab, Islam di Aceh pada dasarnya sudah sangat “tawassuth” (moderat). Prinsip Islam yang diajarkan Nabi Muhammad Saw adalah mengedepankan jalan tengah untuk menyelesaikan dua persoalan yang mendera umat.

Ini sebagaimana hadis Nabi Muhammad Saw, bahwa sebaik-baiknya perkara atau perbuatan adalah terletak pada pertengahannya: “Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”. (HR. Ahmad). Hadis ini menandakan bahwa Islam adalah agama yang sangat moderat dalam menyelesaikan berbagai problem yang mungkin muncul sehingga memungkinkan kita sebagai umat Islam menjalani kehidupan yang aman dan damai.

Di hadapan realitas berbagai khilafiyah fikih, sesungguhnya Islam menempatkan akhlak di atas fikih, karena “adab di atas ilmu”. Akhlak di atas fikih telah dipraktekkan oleh kalangan sahabat dan para generasi terdahulu dari kalanganShalafusshalih yang merupakan generasi terbaik dalam sejarah Islam. Sudah banyak cerita tentang akhlak para ulama dalam merespon perbedaan, dan mereka senantiasa mendahulukan akhlak di atas fikih. Kenapa? Karena mereka mengikuti akhlak Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa Risalah Islam.

Dalam kasus ini misalnya kita bisa belajar dari Imam Syafi’i dan Imam Malik. Kenapa Imam Syafi’i suatu ketika dalam shalat shubuhnya tidak membaca qunut, padahal beliau sepanjang hidupnya dikabarkan selalu membaca qunut? Karena saat itu beliau sedang berada di dekat maqam Imam Hanafi yang selama hidupnya berpendapat tidak sunat membaca qunut pada shalat shubuh. Atau, kenapa Imam  Syafi’i di waktu yang lain tidak membaca qunut, karena beliau sedang menjadi Imam yang dimakmumi oleh Imam Malik yang mana beliau berpendapat tidak sunatnya membaca qunut saat shalat shubuh. Atau, kenapa Imam Malik suatu ketika membaca qunut, padahal beliau meyakini tidak sunatnya membaca qunut saat shalat shubuh? Karena beliau sedang menjadi imam yang dimakmumi Imam Syafi’i. Begitulah akhlak para ulama. Mereka meninggalkan perbedaan fikih dan mendahulukan akhlak. Dan atas alasan itu pula Mazhab fikih yang mereka bangun tersebar di berbagai belahan dunia.

Di Aceh, pelajaran akhlak sebenarnya sudah sangat membumi. Akhlak sudah diajarkan sejak pada tingkatan pendidikan paling awal. Bahkan, saat kita belajar di dayah, kita diajarkan oleh para Teungku bahwa “al adabu fauqal ‘ilmi”, yaitu adab di atas ilmu. Ya, adab di atas ilmu, bukan ilmu baru kemudian adab. Dan pandangan seperti ini adalah berdasarkan suri teladan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Saw, sang pembawa Risalah Islam.

Ketika Nabi Muhammad Saw diangkat sebagai Rasul, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku diutus (tidak lain) adalah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (manusia)”. Sesungguhnya ini menunjukkan keagungan akhlak mulia dalam pandangan Islam, dan sebaliknya bahwa akhlak yang buruk (akhlak al mazmumah) adalah musuh ajaran Islam. Dengan akhlak, Rasulullah Saw, para sahabat dan para pejuang Islam lainnya mampu memancarkan dakwah Islam hingga ke seantero penjuru dunia. Tanpa akhlak, mustahil Islam akan menyebar ke berbagai pelosok dunia.

Oleh sebab itu, ketika kita kembali menghadapi problem “terkikisnya akhlak” umat ini, apalagi dalam kasus ribut-ribut di mesjid, nampaknya melihat kembali bagaimana akhlak Nabi Muhammad Saw, para sahabat dan para ulama generasi terdahulu adalah sebuah keniscayaan. Tanpa akhlak, tidak tertutup kemungkinan masa depan Aceh akan kembali suram oleh “perang” antar sesama muslim, sesuatu yang akan menghancurkan tatanan peradaban Aceh yang sedang kita bangun.

Dalam kasus keributan di mesjid, akhlak akan bisa dikedepankan sekiranya kita mampu memahami fleksebelitas fikih Islam. Bahwa hukum fikih tidaklah kaku, fikih sifatnya fleksibel (al-murunah). Aplikasinya, persis seperti kisah Imam Syafi’i di atas yang tidak membaca qunut saat beliau berada di dekat maqam Imam Hanafi. Alasannya adalah karena penghormatan beliau kepada Imam Hanafi yang di masa hidupnya berpendapat tidak sunat membaca qunut saat shalat shubuh.

Dari kisah di atas, model toleransi tersebut sesungguhnya betul-betul sesuatu yang mesti ditegakkan di Aceh. Caranya, bagi sang Khatib, saya dan para pembaca tulisan ini semuanya, tidak ada cara lain dalam melaksanakan tata cara ibadah Jum’at selain menyesuaikan diri dengan kondisi dan pemahaman jama’ah. Sekali lagi, bukankah hal seperti ini telah dipraktekkan oleh para ulama di masa silam?. Bukankah “penyesuaikan diri” dalam berdakwah adalah akhlak yang dianjurkan dalam berdakwah?.

Jangan sampai, karena mempertahankan perkara kecil, seperti menolak penggunaan tongkat, atau khutbah dua kali, sebagaimana yang sering menjadi sumber keributan selama ini, lalu tujuan dan maksud dakwah pun tidak tersampaikan. Padahal, ini bahasan yang prinsip fikih yang fleksibel bisa diimplementasikan. Toh, sekiranya khatib mengulang khutbah dan memakai tongkat, maka tidak akan merusak akidah juga kan? Di sinilah pentingnya kebijaksanaan para juru dakwah, da’i atau para khatib lainnya. Di atas semua keyakinan fikih kita, sesungguhnya ada nilai lainnya yang wajib kita jaga, yaitu persatuan ummat.

Apalagi, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) juga telah mengadakan muzakarah terkait perkara ini, yang keputusan akhirnya telah sama-sama kita ketahui. Hasil muzakarah ulama yang diselenggarakan MPU yang saat itu dibacakan oleh kepala Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh, Prof Dr Syahrizal Abbas, di depan peserta muzakarahadapun keputusan tersebut adalah, azan dua kali adalah sunnat. Khatib memegang tongkat hukumnya sunnat. Muwalat khutbah adalah syarat sah khutbah. Mau’izhah dengan bahasa selain arab adalah masalah khilafiyah. Dalam rangka menjaga toleransi sesama umat Islam, diharapkan kepada khatib yang memberi mau’izah panjang untuk mengulangi dua rukun khutbahnya, (lihat: mpu.acehprov.go.id).

Oleh sebab itu, bagi khatib yang meyakini tidak pentingnya pakai tongkat dan khutbah dua kali sebagaimana dipahami dari literatur fikih yang ada oleh masyarakat Aceh, maka tinggalkan keyakinan ini sekiranya kita sedang berada di depan jama’ah yang memahami bahwa tongkat itu perlu dan sunat digunakan, dan bahwa khutbah perlu diulang. Dengan kata lain, kita sedang berada di depan jama’ah yang berbeda keyakinannya dengan kita dalam persoalan tersebut. Begitu juga sebaliknya. Pada satu wilayah yang di situ jamaahnya meyakini tidak wajibnya khutbah dua kali dan tidak sunatnya pakai tongkat, maka hendaklah khatib mengikuti pemahaman jama’ah tersebut.

Sementara itu, bagi kita sebagai Jama’ah, jikapun aturan di atas gagal atau tidak dijalankan oleh khatib, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja, maka hendaknya tetaplah mengedepankan akhlak di atas fikih. Tetap jangan membuat keributan di mesjid karena dalam Islam posisi akhlak adalah di atas fikih. Tunggulah sampai selesai prosesi ibadah shalat jum’at. Setelah itu, bermusyawarahlah secara baik-baik, atau tempuh prosesur lain yang dibenarkan. Dan yakinlah,khilafiyah fiqh ini sama sekali tidak wajar menjadi sebab keributan antar sesama umat Islam. Kapan Aceh akan bangkit jika hal semacam ini membuat kita sebagai Muslim begitu mudah terpecah belah sehinga merusak sendi-sendi bangunan peradaban.

Sesungguhnya, penyempurnaan keluhuran akhlak adalah tujuan dari diutusnya Nabi Muhammad Saw. Artinya, jika kita mampu menjaga adab-adab di mesjid, mengedepankan akhlak saat melihat perbedaan, maka itu berarti kita adalah umat yang menjadikan Rasulullah Saw sebagai suri tauladan. Jika tidak, jika kita tidak menjadikan akhlak di atas fikih, apalagi membuang akhlak jauh-jauh, dengan sukarela membuat ribut di mesjid yang merupakan rumah Allah, maka itu bermakna kita adalah “produk gagal” dari proses dakwah Islam dan sistem pendidikan Islam yang sangat menekankan pentingnya akhlak. Dengan kata lain, perilaku seperti ini adalah versus akhlak Nabi. Jika perbuatan seperti itu tidak berasal dari akhlak Nabi, tentu hal itu tidak layak kita teruskan.

Teuku Zulkhairi – Mahasiswa Program Doktoral Pascasarjana UIN Ar-Raniry. Alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara. Sekretaris Pengurus Besar Persatuan Dayah Inshafuddin. Emailabu.erbakan@gmail.com.  

Tulisan ini dimuat di Harian Serambi Indonesia dengan Judul "Adab Di Atas Ilmu". Link:  http://aceh.tribunnews.com/2016/04/08/adab-di-atas-ilmu

http://www.teukuzulkhairi.com/2016/04/mendahulukan-akhlak-di-atas-fikih.html

Related

Kajian 790118348721912566

Posting Komentar

emo-but-icon

Pendiri Dayah Babussalam

Pendiri Dayah Babussalam
Tgk. H. Hanafi (Abi Matangkeh)

Tgk H Sirajuddin, Pimpinan

Tgk H Sirajuddin, Pimpinan

Visi Misi Dayah Babussalam

Visi Misi Dayah Babussalam

Terbaru

Terpopuler

Comments

Meu Ulang Kitab

Meu Ulang Kitab
Meu Ulang Kitab

Pembukaan Lomba Pidato

item