Sejarah Tokoh Ulama Aceh, Abuya Muda Wali

Penulis Tgk. Kiamuddin Abuya Muda Waly memiliki nama lengkap Syekh H. Teungku Muhammad Waly Al-Khalidy adalah seorang ulama dari Aceh ...

Penulis Tgk. Kiamuddin

Abuya Muda Waly memiliki nama lengkap Syekh H. Teungku Muhammad Waly Al-Khalidy adalah seorang ulama dari Aceh Selatan. Salah seorang istrinya pernah menuliskan namanya dengan Syekh Haji Muhammad Waly, Asyafi'i Mazhaban, wal Asy'ari Aqidatan, wan Naqsyabandi Thariqatan. Beliau lahir pada tahun 1917 di Blang Poroh, Labuhan Haji, Aceh Selatan. Ayahnya bernama Syekh Haji Muhammad Salim bin Malim Palito, seorang dai asal Batusangkar, Sumatra Barat dan ibunya bernama Siti Janadat. Namanya ketika kecil adalah Muhammad Waly, sedangkan gelar "Muda Waly" didapatkannya ketika dalam masa belajar di Sumatra Barat.

 Abuya Muhammad Wali (1917-1961 M) dikenal luas oleh seluruh masyarakat Aceh dan Indonesia sebagai salah seorang ulama besar ilmuan yang tekun mendalami berbagai bidang kajian keislaman antara lain ilmu fikih, kalam (tauhid), logika (mantiq), dan tasawuf. Karya-karyanya baik dalam ilmu kalam, fikih, dan tasawuf, itu umumnya bersifat deskripsi dengan pendekatan sosiologi tentang berbagai problematika yang berkembang di Aceh dan yang berkembang di dunia Islam pada umumnya. 

A.  Tahap pendidikan 
Syeikh Abuya Muhammad Wali belajar belajar Al-Qur an dan kitab-kitab kecil tentang tauhid, fiqh, dan dasar ilmu bahasa Arab kepada ayahnya. Pembelajaran ini sering dilakukan pada malam hari sesudah shalat maghrib, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh para masyarakat di Aceh.

      Disamping beliau belajar pada orang tuanya juga masuk sekolah Volks-School yang didirikan oleh Belanda. Pada usia tujuh tahun ia mulai belajar di sekolah Belanda tersebut yang terletak di Gampong Kuta Trieng Kecamatan Labuhan Haji Barat. Sekolah tersebut terkenal hanya untuk para putra bangsawan, sedangkan bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Belanda. sekolah ini setara dengan sekolah dasar (SD) pada masa sekarang ini. Ia menamatkan dan menyelesaikan pendidikannya di sekolah itu selama 3 tahun.

Setelah tamat sekolah Volks School, beliau dimasukkan kesebuah Pesantren di ibukota Labuhan Haji, Pesantren Jam`iah Al-Khairiyah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Ali yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan Teungku Lampisang dari Aceh Besar setelah selesai sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4 tahun ia belajar di pesantren Al-Khairiyah.

 Setelah menyelesaikan pendidikannya di Dayah Jami’ah, ia kemudian diantarkan oleh ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di ibukota kecamatan Blangpidie. Di pesantren Bustanul Huda, ia mempelajari kitab-kitab yang masyhur dikalangan ulama Syafi`iyah seperti I`ānah al-Ṭalibīn, Tahrīr, dan Mah.ly dalam ilmu fiqh, Alfiyah dan Ibn `Aqil dalam ilmu Nahwu dan Sharaf.

Setelah beberapa tahun belajar di Bustanul Huda pada tahun 1935 di usianya yang ke 18 tahun, ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren Krueng Kalee di Aceh Besar. Sebagai bekal dalam perjalanan beliau dari Labuhan Haji, ayahanda beliau Syeikh Muhammad Salim memberikan sebuah kalung emas yang lain merupakan milik kakak kandung Syekh Muhammad Waly, yaitu Ummi Kalsum. Beliau diantar oleh ayahanda beliau dari desanya sampai ke kecamatan Manggeng. Setelah sampai ke Manggeng, ayahanda beliau berkata” Biarkan aku antarkan engkau sampai ke Blang Pidie”. Sesampainya di Blang Pidie, Syekh Muhammad Salim berkata kepada putranya, Abuya Muhammad Wali” biarkan aku antarkan engkau sampai ke Lama Inong”.

Pada kali yang ketiga ini, Abuya Muhammad Wali merasa keberatan, karena seolah-olah beliau seperti tidak rela melepaskan anaknya merantau jauh untuk menuntut ilmu.  Abuya Muhammad Wali berangkat ke Aceh Besar ditemani seorang temannya yang juga merupakan tamatan dari pesantren Bustanul Huda, namanya Teungku Salim, beliau merupakan seorang yang cerdas dan mampu membaca kitab-kitab agama dengan cepat dan lancar. Sesampainya di Banda Aceh, beliau berniat memasuki Pesantren di Krueng Kale yang dipimpin oleh Syekh H.Hasan Krueng Kalee, Beliau sampai di Pesantren Krueng Kale pada pagi hari, pada saat Syeikh Hasan Krueng Kale sedang mengajar kitab-kitab agama. Diantaranya kitab yang dibacakan adalah kitab Jawhar Maknūn.

Syekh Abuya Muhammad Wali hanya satu hari di Pesantren Kreung Kalee, beliau bersama Tengku Salim mencari pesantren lain untuk menambah ilmu. Akhirnya merekapun berpisah. Pada saat itu ada seorang ulama lain di Banda Aceh yaitu Syekh Hasballah Indrapuri, beliau memiliki sebuah Dayah di Indrapuri. Pesantren ini lebih menonjol dalam ilmu Al-Qur’an yang berkaitan dengan qiraat dan lainnya. Syekh Abuya Muhammad Wali merasakan bahwa pengetahuan beliau tentang ilmu Al-Qur’an masih kurang. Inilah yang mendorong beliau untuk memasuki Pesantren Indrapuri. Pesantren Indrapuri tersebut dalam sistem belajar sudah mempergunakan bangku, suatu hal yang baru untuk kala itu..

Setelah sekian lamanya di Pesantren Indrapuri, datanglah tawaran dari salah seorang pemimpin masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang payung kepada Syekh Abuya Muhammad Wali untuk belajar ke sebuah perguruan di Padang, Normal Islam School yang didirikan oleh seorang ulama tamatan Al-Azhar, Mesir Ustad Mahmud Yunus. Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan pribadi Syekh Muda Waly, timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini perlu dikirim ke Al-Azhar, Mesir. Tetapi karena di Sumatra Barat sudah terkenal ada seorang Ulama yang telah menamatkan pendidikannya di Al Azhar dan Darul Ulum di Cairo, Mesir yang bernama Ustad Mahmud Yunus yang telah mendirikan sebuah perguruan di Padang yang bernama Normal Islam School yang sudah terkenal kala itu melebihi perguruan-perguruan sebelumnya seperti Sumatra Thawalib. Oleh sebab itu Teuku Hasan mengirimkan Syekh Abuya Muhammad Wali ke pesantren tersebut sebagai jenjang atau pendahuluan sebelum melanjutkan ke al Azhar. Setelah sampai di Normal Islam beliau segera mendaftarkan diri di Sekolah tersebut. Lebih kurang tiga bulan beliau di Normal Islam dan akhirnya beliau mengundurkan diri dan keluar dengan hormat dari Lembaga pendidikan tersebut. Hal ini beliau lakukan dengan beberapa alasan : 

I.    Cita-cita melanjutkan pendidikan kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan tujuan memperdalam ilmu agama, karena cita-cita beliau mudah-mudahan beliau menjadi seorang ulama seperti ulama-ulama besar lainnya. Tetapi ilmu agama yang diajarkan di normal Islam amat sedikit. Sehingga seolah olah para pelajar disitu sudah dicukupkan ilmu agamanya dengan ilmu yang didapati sebelum memasuki pesantren tersebut. 

II.    Di Normal Islam pelajaran umum lebih banyak diajarkan ketimbang pelajaran agama. Disana diajarkan ilmu matematika, kimia, biologi, ekonomi, ilmu falak, sejarah Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Belanda, ilmu khat dan pelajaran olahraga.

III.    Di normal Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan peraturan di lembaga tersebut. Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana, memakai dasi, ikut olah raga disamping juga mengikuti pelajaran umum diatas. Menurut hemat Syekh Muda Waly, lebih baik beliau pulang ke Aceh mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki daripada menghabiskan waktu dan usia di Sumatra Barat.

Ketika Abuya Abuya Muhammad Wali masih di Padang, beliau sangat terkenal di sana dengan kealimannya sehingga banyak tokoh ulama di Padang yang berkenalan dengan Muda Wali, salah satunya adalah Syekh Khatib Ali. ia sangat tertarik kepada Syekh Abuya Muhammad Wali sehingga beliau menjodohkan Syekh Abuya Muhammad Wali dengan seorang family beliau yaitu Hajjah Rasimah. Sejak itulah kemasyhuran Syekh Muhammad Wali semakin meningkat dan terus ditarik oleh ulama-ulama besar lainnya dalam kelompok para ulama kaum tua, tetapi beliau secara tidak langsung juga mengambil hal yang baik dari ulama-ulama lainnya, seperti orang tuanya Buya Hamka, Haji rasul. Kemudian Syekh Abuya Muhammad Wali juga berkenalan dengan Syekh Muhammad Jamil Jaho. Maka beliau mengikuti pengajian yang diberikan oleh Ulama besar Padang tersebut. Hubungan beliau dengan Syekh Muhammad Wali pada mulanya hanya sekadar guru dan murid. Syekh Jamil Jaho adalah seorang Ulama Minangkabau, murid Syekh Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya oleh ulama lainnya terutama dalam ilmu bahasa Arab. Di Pesantren jaho itulah Syekh Muhammad Jamil Jaho mengumpulkan murid-muridnya yang pintar untuk mencoba pengetahuan Syekh Abuya Muhammad Wali pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syekh Abuya Muhammad Wali tapi pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syekh Abuya Muhammad Wali dengan berbagai ilmu alat. Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab oleh Syekh Muhammad Wali. Dari situlah, Syekh Abuya Muhammad Wali semakin terkenal dikalangan para ulama Minangkabau. Akhirnya Syekh Abuya Muhammad Wali dinikahkan dengan putri Syekh Muhammad Jamil Jaho yaitu dengan seorang putrinya yang juga alim, Hajjah Rabi`ah yang akhirnya melahirkan Syekh H.Mawardi Waly. Akhirnya syekh Abuya Muhammad Wali menempati rumah pemberian paman istri beliau yang pertama, Hajjah Rasimah. 

Pada tahun 1939 M, Syekh Abuya Muhammad Wali menunaikan ibadah haji ketanah suci bersama salah seorang istri beliau Hajjah Rabi`ah. Selama di Makkah, selain menunaikan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari ulama ulama yang mengajar di Masjidil Haram antara lain Syekh Ali Al Maliki.

Ketika Syekh Abuya Muhammad Wali berada di Madinah, ia berdiskusi dengan para ulama ulama dari negeri lain terutama dari Mesir. Beliau tertarik dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di negeri Mesir, sehingga beliau sudah bertekat menuju ke Mesir, tetapi beliau lupa bahwa pada saat itu beliau membawa istri beliau Hajjah Rabi`ah. Istri beliau keberatan ditinggalkan untuk pulang ke Indonesia. Akhirnya beliau tidak jadi berangkat ke Mesir. 

Diantara guru yang pernah ia belajar, antara lain:
1. Syeikh H.M. Salim Aceh Selatan, ayah beliau sendiri.
2. Syeikh M. Idris Aceh Selatan.
3. Syeikh M. ‘Ali Lampisang, Aceh Besar.
4. Syeikh Mahmud Blang Pidie.
5. Syeikh H. Hasan Kureng Kale, Aceh Besar.
6. Syeikh Hasbullah Indrapuri, Aceh Besar.
7. Syeikh ‘Abdul Ghani Al-Khalidi Batu Basurek, Bangkinang Sumbar.

B.  Kehidupan keluarga :
Dari hari ke hari, namanya semakin terkenal hingga pada suatu ketika salah seorang ulama besar, Syekh Haji Khatib Ali, tertarik dan menjodohkannya dengan salah seorang keluarganya, Rasimah. Dari pernikahan ini lahir dua orang anak: Abuya Muhibuddin Waly dan Halimah Waly.

Pernikahan ini membuat beliau semakin meluaskan pergaulannya hingga beliau berkenalan dengan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan lain-lainnya. Pada awalnya Syekh Muhammad Jamil Jaho adalah guru dari Abuya Muda Waly namun karena tertarik dengan kualitas keilmuan Abuya Muda Waly maka dia menikahkan Abuya Muda Waly dengan salah seorang putrinya, yaitu Rabi’ah Jamil sehingga lahirlah Ahmad Waly dan Abuya Mawardy Waly.

Bersama istrinya yang kedua Abuya Muda Waly berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji selama tiga bulan. Selama di tanah suci beliau berkesempatan untuk menimba ilmu dari ulama-ulama yang mengajar di Masjidil Haram dan berinteraksi dengan ulama-ulama Mesir yang sedang menunaikan ibadah haji.

Istri ketiga beliau bernama Raudhatun Nur, salah satu keponakan dari Teuku Usman Paoh yang berasal dari Labuhan Haji, Aceh Selatan. Dari istri yang ketiga ini lahirlah Abuya Amran Waly yang dikemudian hari menjadi pemimpin dayah Darul Ihsan di Desa Paoh, Labuhan Haji, Aceh Selatan.

Istri keempat dia bernama Rasimah yang melahirkan putra bernama Abuya Muhammad Nasir Waly. Perkawinan yang keempat ini atas permintaan dari keluarga ibu kandung Abuya Muda Waly agar ada pertalian dengan ahli famili.

Setelah Abuya Muda Waly bercerai dengan istri keduanya (Rabi'ah Jamil), kemudian beliau menikah dengan Ummi Aisyah dari Teunom, Aceh Jaya.

C.  Perjuangan :
Pada masa penjajahan Jepang terdapat dua kubu ulama di Aceh yaitu PUSA dan non-PUSA. PUSA adalah singkatan dari Persatuan Ulama Seluruh Aceh yang dipimpin oleh Teungku H. Daud Beureueh. Pada umumnya ulama yang tergabung di dalam PUSA disebut dengan golongan muda dan ulama yang tidak bergabung dengan PUSA disebut dengan golongan tua. Abuya Muda Waly sendiri tidak tergabung dengan PUSA tetapi beliau dengan beberapa ulama lain turut menyerukan jihad fisabilillah dalam menghadapi penjajah.

Ketika meletus pemberontakan DI/TII, Abuya Muda Waly termasuk ke dalam golongan ulama yang menolak pemberontakan ini. Adapun beberapa ulama yang menolak DI/TII antara lain adalah Teungku H. Hasan Krueng Kalee, Teungku Abdussalam Meuraxa, dan Teungku Saleh Meusigit Raya.

D.  Wafat :
Abuya Muda Waly wafat pada 20 Maret 1961 atau bertepatan dengan 11 Syawal 1381H pukul 15:00. Jenazahnya disalatkan dan dimakamkan di Dayah Darussalam.

Wallahu’aklam bissawab

Ditulis oleh Tgk Kiamuddin SE,  yang  di ambil dari berbagai sumber yang telah terpopuler.

Related

Kisah Ulama 6652306123369489701

Posting Komentar

emo-but-icon

Pendiri Dayah Babussalam

Pendiri Dayah Babussalam
Tgk. H. Hanafi (Abi Matangkeh)

Tgk H Sirajuddin, Pimpinan

Tgk H Sirajuddin, Pimpinan

Visi Misi Dayah Babussalam

Visi Misi Dayah Babussalam

Terbaru

Terpopuler

Comments

Meu Ulang Kitab

Meu Ulang Kitab
Meu Ulang Kitab

Pembukaan Lomba Pidato

item